Lewat separuh malam sebelum kedai tutup dan aku tengah membereskan meja di teras, malaikat itu menampakkan dirinya dan segera memintaku untuk membunuh seseorang. Aku mengaku bahwa kadar ketakwaanku kepada Tuhan menurun drastis sejak bekerja di kota ini, tetapi tetaplah aku sedikit percaya pada apa yang dikata Bapak di kampung dulu kalau, malaikat itu bisa menjelma sebagai manusia untuk tujuan tertentu. Tetapi sangat aneh jika pencabut nyawa sendiri harus memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan pekerjaannya.
Dia malah datang selayak manusia biasa yang masuk ke teras kedai kemudian mendaratkan pantatnya di salah satu kursi dan memanggilku untuk meminta menu. Singkirkan bayangan tentang sosok yang mengendarai angin lalu muncul di hadapanku dalam sekejap. Jika kemunculannya begitu, pastinya aku sudah tidak bercakap dengannya sekarang karena keburu pingsan.
“Maaf, Pak. Kedai kami sudah tutup.” Aku menunduk dengan sopan sembari mencuri pandang pada kepala botak licinnya yang mengilap karena disapu cahaya remang dari lampu kuning.
“Kalau begitu, tunggu saya selesai minum. Saya cuma mau pesan kopi hitam tanpa gula.” Kerlingan matanya sungguh menjijikkan, seperti lampu jalan yang tengah sekarat “Lagi pula di luar sedang hujan deras.”
Segera kualihkan pandanganku ke jalan. Benar saja, di luar sedang hujan lebat seakan setiap tombak airnya mampu membocori jalan beraspal dan suara terpaannya sungguh mengerikan. Hujan itu baru saja turun selepas dia berbicara di luar sedang hujan deras seolah menuruti perintah atau dipanggil untuk segera menghadap. Untunglah, atap teras lumayan memanjang ke depan. Kalau tidak, pastinya kami akan mengangkat meja dan kursi ke dalam kedai yang jumlahnya tidak sedikit.
“Hmmm, tunggu sebentar kalau begitu, Pak.”
Secangkir kopi hitam kuletakkan di mejanya setelah sedikit memaksa pada barista untuk tetap membuatkan kopi di luar jam kerja. Karena aku menunduk dan mukanya lebih dekat ke mataku, beberapa helai bulu hidung mencuat dari dua lubangnya. Ada apa dengan rambut di tubuhnya? di kepala, mereka rontok sedangkan di tempat lain mereka menyombongkan diri.
“Aku punya permintaan.” Dia sengaja menergurku sebelum bunyi serut air hasil dari bibir dower-nya menghisap sedikit kopi di pinggiran cangkir.
“Maaf?”
“Duduklah.” Entah kenapa aku sedikit canggung atas permintaannya. Tidak biasanya aku menghadapi laki-laki seperti ini. Bermodalkan ganjen, biasanya dengan mudah aku bercakap dengan pelanggan di luar Menu Kedai, maksudku, kau tahulah perempuan semuda aku yang tidak memiliki sanak keluarga di kota dan menerima upah yang pasti habis sebelum akhir bulan akan mencari pendapatan lain yang cepat dan mudah.Tetapi hari ini aku masih punya duit, setidaknya masih bisa isi perut sampai seminggu ke depan. Lagi pula aku tak meminta pelanggan pada Entang, seorang “Mami Frilens” begitu julukannya, rada-rada kebulean yang tentu saja aku tak tahu artinya.
“Aku tidak minta kau main-main dengan tongkatku.”
Aku tersentak mendengarnya, bukannya sedari tadi aku hanya bercakap pada diriku sendiri.
“Ahhh, kau mulai gatal lagi.” Dua jarinya dimasukkan ke dalam hidung lalu mencabut sehelai bulunya yang mencuat. Setelahnya dia mengangkat dagunya lalu menyeretku ke dalam matanya. Sungguh dia menatapku dengan kesombongan karena lagi-lagi mengetahui isi kepalaku.
Meninggalkannya di sini akan lebih baik, tak usah aku berhadapan dengan dukun aneh macam dia. Namun sesaat sebelum pantatku terangkat, terdengar ucapannya mencegahku “Tidak usah takut, saya ke sini demi kepentinganmu. Lagi pula saya bukan dukun.”
“Kau siapa?” Tak pernah aku menemukan seorang laki-laki dengan tampang seburuk dia, artinya besar kemungkinan dia bukan manusia biasa atau jangan-jangan setan dari kuburan yang berada di samping kompleks perumahan mewah di tepi kota lalu berkeliaran ke sini karena kesepian.
“Sudahlah, duduk saja. Malam ini, saya sebenarnya buru-buru untuk pulang tapi karena teman seangkatanku yang punya urusan di sini diutus ke luar kota demi urusan lain, saya harus menggantikannya,” Bengkokan lehernya menunjuk kursi di depannya seolah memerintahku untuk kembali duduk di tempatku semula.
“Begini, saya Malaikat Pencabut Nyawa.” Seakan tahu bahwa aku ingin bertanya ulang karena mungkin saja pendengaranku yang tidak jernih, dia buru-buru melanjutkan “Iya, Malaikat Pencabut Nyawa,” Dia mengucapkannya pelan dan menegaskan setiap hurufnya.
“Kau harus percaya karena saya tak punya banyak waktu untuk menjelaskan, sungguh saya mau istirahat, baru saja sebuah bus tergolek ke jurang, saya harus mengurus semua nyawa manusia di dalamnya. Ahhh untung saja nenek itu tidak ditakdirkan mati, kau tahu, sungguh merepotkan kalau manusia panjang umur yang mati, pengurusan dokumennya terlampau tebal.” Dia memperagakan dengan kedua telapak tangan yang saling menghadap kemudian dijauhkan ke sisi atas dan bawah, sekitar setengah meter tebal renggangan keduanya.
Memang, berita itu gempar tadi sore. Sebuah bus menabarak pembatas jembatan dan terbang ke jurang. Tetapi yang aku dengar semuanya mati karena bus terbakar setelah mendarat.
“Tidak, nenek itu masih hidup. Dia sekarang di rumah sakit dengan luka bakar di sekujur tubuhnya. Ahhhhh, mudah-mudahan bukan saya nantinya yang mendapat kiriman perintah untuk mengurus nyawanya kalau ternyata dia mati juga nantinya.” Seakan ada yang mengingatkannya, perhatiannya kemudian terjurus padaku. Matanya tajam, “Kau harus membunuh seseorang, namanya sudah terdaftar di tanganku, takdirnya malam ini dia harus mati tetapi belum juga ada tanda-tanda menuju kematiannya. Dia sehat-sehat saja, tetapi Tuhan sudah menyuruhnya mati dengan alasan apapun dan sampai sekarang dia belum berniat bunuh diri. Menjengkelkan, bukan?”
“Begini, kalau kau masih tidak percaya bahwa saya Malaikat Maut,” Sekedip mata, pakaiannya berubah menjadi serba hitam. Ada kerah baju yang meninggi menutupi tengkuknya, sebuah topi mirip caping di atas kepala botaknya, bulu hidung itu panjang dan membelok ke tepi bibir. Kalau tak diperhatikan dengan saksama, bulu hidung itu mirip kumis. Dengan was-was aku memperhatikan sekitarku.
“Mereka tidak bisa lihat perubahanku.”
Kutempelkan erat pantatku di kursi, pandanganku terpaku pada sosoknya di hadapanku. Entah kenapa hal mengerikan di depanku tidak membuatku berkeinginan untuk lari.
“Lalu, bukannya Tuhan bisa membuat manusia mati kapan saja?”
“Segala sesuatunya butuh alasan, bahkan takdir Tuhan.” Pundaknya bergetar karena tertawa. Mungkin pertanyaanku tadi dianggap lelucon. Raut mukanya saat tertawa mirip Boboho saat kentut.
“Kenapa harus aku yang membunuhnya, kenapa bukan kau saja? Bukannya kau Pencabut Nyawa?”
“Kami tidak bisa melakukannya, bukan tugas kami yang menakdirkan seseorang mati, kami hanya mengurus roh yang terlepas dari tubuhnya.”
“Kalau begitu nama kalian sebetulnya tidak cocok.”
“Sudahlah, bukan hak manusia mengurus nama kami. Kau harus membunuhnya, dia bekerja di sini.”
“Dengan cara apa aku membunuhnya? Aku takut darah.”
“Bohong kalau kau takut darah, kemarin kau membunuh kucing yang melahap sisa ikan di kosmu. Kau memukulnya dengan batang sapu tepat di kepalanya, waktu dia sulit bangkit, tanpa berpikir kau menusuknya dengan pisau dapur lagi. Kau sendiri kan yang mengurus darahnya yang berceceran.”
“Kau melihatnya?” Dia cengengesan karena berhasil menguak kebohonganku. Kalau kucing memanglah aku tega, lagi pula kucing itu sudah lama menjengkelkan. Setiap makanan enak yang kubeli dengan mengorbankan jatah makan enakku keesokan harinya, dia selalu mencuri sisa makanan itu padahal aku sengaja menyimpannya buat waktu makan selanjutnya.
“Aku tidak melihatnya, sebuah dokumen masuk ke tanganku dan menceritakan riwayatmu. Orang yang akan mati malam ini berhubungan denganmu jadi mau tak mau riwayatmu juga ikut dengannya.”
“Kalau aku tidak membunuhnya?”
“Kau akan hidup sengsara seumur hidup. Hidupmu tetap miskin bahkan tambah miskin, tuamu melarat dan tidak ada yang sudih mengurusmu. Nantinya pun kau tak akan mendapat pelanggan lagi. Beberapa tahun lagi, kedai ini bangkrut. Kau tidak bisa mendapat kerja selain mengemis.”
Setelah mengubah pakaiannya semula, dia kembali menatapku tajam dan mencondongkan mukanya ke hadapanku. “Gampang saja membunuhnya.”
“Kenapa dia harus mati?” Aku sudah dapat melebur dengan perintahnya terlebih ancaman menyedihkan semacam itu. Hujan masih turun dan malam semakin mengirimkan dinginnya menembus kedua celah pahaku yang hanya tertutup rok mini. Angin tipis membelai kulit di pinggiran celana dalamku.
Anehnya, dia tidak menjelaskan secara detail tentang hal-hal yang harus aku lakukan setelah dia menghabiskan kopi dan meninggalkan tempat ini. Setengah cangkir kopinya sudah tandas. Sebentar juga katanya aku harus menyiapkan pisau paling tajam untuk menggorok salah satu batang di tubuh orang yang akan mati itu. Aku heran pada diriku sendiri. Tak ada rasa takut apalagi sedih jika salah satu orang yang bekerja di kedai ini mati di tanganku sendiri. Malah rasanya ingin segera aku mengakhiri percakapan dengan Malaikat Pencabut Nyawa ini demi bisa pulang dan berisitirahat tenang di kasur lapukku.
“Dia tidak berguna untuk orang lain. Jatah napasnya mending diberikan kepada orang yang sakit asma, begitu kata Tuhan.”
“Usianya dua puluh empat tahun dan bodoh.” Aku menimbang-nimbang siapa yang seumuran denganku di kedai ini. Oh si Kamir, aku ingat persis angka lilin yang tertancap di kue tar di bulan lalu yang dibuatkan pacarnya. Pacar yang malang, siapa yang akan mengawini perempuan bekas barista itu. Tunggu, si Ayu yang di dalam sedang pasti menghitung duit omset hari ini juga berusia denganku. Kalau begitu siapa yang harus mati? Mudahn-mudahan saja si Ayu, iblis betina itu kerap menyisipkan duit ke kantongnya sehabis menghitung keuntungan.
“Hhahahaha kenapa kau yang terburu-buru.”
“Tunggu, bagaimana kalau aku masuk penjara?”
“Aku jamin kau tidak akan mencium sel-sel busuk itu.”
Lanjutnya, “Dia hanya memikirkan isi perutnya saja. Saking tidak bergunanya, orang itu bahkan tidak pulang kampung saat,” Malaikat Pencabut Nyawa itu seakan menimbang-nimbang ucapannya “Ahh sudahlah. Dunia tidak membutuhkannya, hanya mengotori saja.” Dia menatap ke pekat hujan dan seperti menimbang-nimbang ucapan selanjutnya. “Dia bahkan tidak mengurus dirinya sendiri. Jelek, hitam. Wajar saja, dia dibayar murah oleh pelanggan yang kau sebut di luar Menu Kedai.”
Seandainya kau bisa melihat wajah sumbringahku, mungkin mirip wajah Omas yang tengah jatuh cinta. Benar saja, si Ayu yang bakalan mati. Dari semua perempuan yang bekerja di kedai ini, siapa sih yang tidak menjual dirinya. Dialah yang mengajariku, lalu aku mengajari pendatang baru. Ilmu ini turun-temurun. Tetapi memang iblis betina itu sungguh doyan duit atau mungkin doyan kelamin. Hampir tiap malam setelah bekerja dia dijemput laki-laki beda, tetapi semuanya memang memiliki tampang menjijikkan. Kalau bukan supir taksi gempal, paling tukang ojek yang seperti habis ngantar tante kunti, kusutnya minta ampun.
“Kalau kau selesai membunuhnya, hidupmu akan berubah total, berputar seratus delapan puluh derajat!”
Meski tak mengerti seratus delapan puluh derajat itu putarnya sampai mana, aku tetap senang mendengarnya. Mungkin maksud dia aku tidak akan kere lagi, atau punya suami tajir, atau punya kedai sendiri dan tidak menjadi pesuruh seperti ini lagi dan makan daging setiap hari. Daging yang masih dipanggang kemudian diolesi berbagai macam bumbu pedis. Ahhh, membayangkannya saja menyenangkan.
Malaikat itu terdiam lama karena menghayati setiap sesapan kopi. Aku melihat hujan belum juga turun, rintik-rintik yang mirip tombak itu berubah menjadi indah di pandanganku. Kubayangakan nanti di jalan tepi jalan itu, aku turun dari mobil sembari membuka payung besar, menaungi tubuhku yang berpakaian mini ketat dan sepatu berhak tinggi mirip kepunyaan Syahrini. Bling.
“Cepatlah habiskan kopimu, bukannya kau ingin istirahat?”
“Setiap hari orang itu mengkhayal terlampau tinggi, padahal dia tidak bertindak apa-apa. Wajar saja sebenarnya manusia mengkhayal, toh tidak ada bayarannya. Tapi yang bikin Tuhan kesal itu karena dia tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkannya. Asal dia makan itu sudah cukup. Padahal Tuhan memberikan dia hidup untuk mengemban amanah, amanahnya mudah, jadikanlah hidupmu berguna. Itu saja.”
Aku mengangguk pelan dan sedikit tergugah. Perkataannya seperti Bapakku dulu waktu aku masih kecil. “Oh ya, kau yang mengurus roh Bapakku? Gimana dia sekarang?”
“Bocoran sedikit, Bapakmu masih nunggu pertimbangan Tuhan, dia dihantar ke surga, atau dilempar ke neraka.”
“Loh, kenapa? dia rajin sembahyang, rajin ngaji. Semestinya Tuhan penuhi janji dong.”
“Itu rahasia.”
Aku mengenang hidup Bapakku yang menderita sampai ajalnya. Miskin dan punya dua anak sebebal kami. Kakakku yang cuma tahu mabuk dan aku yang suka keluyuran bahkan saat kematiannya, aku tidak pulang ke kampung. Takut kalau Emmak bakal melarangku balik ke kota. Setiap hari kerjaannya menyapu masjid, ngaji, sembahyang. Ternyata menjadi baik pun tak menjamin hidup enak nantinya kalau sudah di akhirat. Saya kira Bapakku sudah punya istri bidadari di surga.
“Cepatlah habiskan kopimu, katanya buru-buru.”
“Baiklah.” Sembari memperlihatkan cangkir yang tidak menyisakan ampas.
Dia meminta diri dengan sangat sopan seperti menyalami bos saja.
Sebelum aku ikut bangkit dari kursiku, dia kembali menyahut “Orang itu bukan Ayu, tapi yang jelas dia perempuan.”
Bukan Ayu? Lalu?
“Kalau kau tidak sanggup membunuhnya, kau harus terima masa depanmu.” Aku tidak bisa menanggapi ucapannya.
Pakaiannya kembali berubah menjadi serba hitam “Jangan lama-lama, saya buru-buru, kau punya waktu sebelum ayam berkokok.”
[End]